Rabu, 08 Agustus 2012

Tegarlah Adinda [Part II]



...

“Tapi sayang, kamu menitipkannya tidak pada orang yang tepat”, entah dia mengerti atau tidak, dengan maksudku.
Begitulah kemudian waktu yang kami lalui, selalu penuh petentangan. Aku tak ingin dia menyesal kemudian, karena telah mengecewakan orang tuanya demi egonya. Aku tahu dia sakit, tapi aku berharap rasa sakitnya dapat mendewasakannya.
Sudah beberapa minggu aku tidak membuat ponselnya berdering, walau hanya dengan sebuah pesan. Sms yang dia tujukan untukku, sering juga aku abaikan. Jika terpaksa harus bertemu, aku tak mau berlama-lama bersama dia.
Hal itu terus aku lakukan sampai waktu menempatkan aku diantara banyak orang, semua berpakaian rapih seperti halnya aku. Aku mengenal sebagian dari mereka, terutama sosok wanita yang mengenakan pakaian adat jawa. Wanita yang duduk bersebelahan dengan lelaki yang juga mengenakan pakaian adat jawa di hadapan kami. Wanita itu adalah dia, ya, dia. Hari itu adalah hari pernikahannya.
Pada hari itu, dia, raganya duduk di disinggasana bersama suaminya, tetapi tidak hati dan pikirannya. Sesekali matanya menatapku dengan senyuman yang tertahan, pandangannya mengatakan “seharusnya kamu yang duduk disini bersamaku, mas”
“Mengertilah, seorang lelaki sejati tidak akan meminang seorang wanita yang telah dipinang oleh lelaki lain”. Aku mencoba menegaskan kembali prinsip yang selama ini aku anut, melalui tatapan mataku dengan seulas senyuman.
Pandangan kami bertemu pada satu titik. Titik itu seolah menjadi satu ruang yang hening, didalam ruang itu hanya ada aku dan dia, saling berbicara.
“Aku gak bisa ngelupain mas”
“Terimalah dengan ikhlas, semoga kamu bisa bahagia bersama dia, suamimu. Bukan aku”
Aku tahu dia belum bisa untuk sepenuhnya menerima kenyataan ini. Tapi dia akan berusaha, dia mulai mengumpulkan energi positif yang tercecer. Dia sedang mencoba untuk terlihat tegar dan bahagia di hadapanku, juga di hadapan semua orang. Aku dapat melihat itu dari matanya, mata yang sembab dan agak memerah. Mata yang terus menangis dan hampir tidak tidur semalam sebelum hari pernikahannya.
Malam itu adalah kesempatan terakhirku untuk berbicara dengannya yang tulus mencintaiku, namun terluka oleh waktu. Walau terpisah jarak dan keadaan, namun aku tak ingin menyiakan waktu yang hanya tinggal sebentar saja. Karna pada hari berikutnya, dia adalah miliknya, suaminya.
“Halo” Suara lirih menyapa dari ujung sana dan menyusup melalui speaker ponselku yang men-dial ponselnya beberapa detik sebelumnya.
“Halo, lagi ngapa dek?, Sudah siap kan buat besok?” pertanyaan basi yang seharusnya tidak aku lontarkan. Karna sebenarnya aku tahu dari suaranya, dia sedang menangis malam itu.
“Aku lagi nangis mas”
“Menangislah, kalo itu bisa membuatmu lega” Aku tidak melarang dia untuk menangis, pun tidak memintanya untuk berhenti menangis.
“Sudah siap kan buat besok?” kembali aku bertanya dengan nada yang datar.
“Enggak tau, mas. Mungkin aku siap kalo mas gak ada didepanku saat akad nikah, mas”
“Baiklah, besok mas gak akan dateng”
“Enggak mas, mas harus dateng besok. Dedek kuat kok, Dedek bisa”
“Yakin?”
“Insya Allah, dedek bisa, mas. Mas do’ain aja ya buat aku. Aku pengen jadi adek Mas yang tegar!. Mas, janji besok dateng ya, pas akad nikah dedek”. Akhirnya dia mengatakan itu meski dengan terbata, dia tengah bangkit dari keterpurukan. Dan itu membuat aku tersenyum karna dia telah berusaha untuk menerima kenyataan ini, kenyataan bahwa dia adalah calon istrinya, dan aku adalah sahabatnya dan dia berusaha menganggap aku sebagi kakaknya, bukan calon suaminya.
“Do’a mas bersamamu” aku terus menyemangatinya. “Insya Allah besok, mas ada”
“Ma’afin dedek mas, ma’af dedek  udah mencintai mas. Dedek bakal berusaha untuk ngilangin rasa cinta ini, sampe akhirnya Tuhan gak ngijinin rasa ini bersemayam di hati dedek”.
“Ya, aku tau kok,,,, tapi rasanya gak perlu untuk ngilangin rasa cinta itu. Yang perlu, kamu harus mencintai dengan benar. Mas yakin, kamu gak akan sakit karna cinta”.
“…”
“Mencintai dengan benar itu, pertama mencintai Allah melebihi apapun, kemudian mencintai Rasulullah dan para pewarisnya, mencintai ibumu, mencintai bapakmu, serta keluargamu. Barulah mencintai yang lain”
“Mas, bisa ngomong aku gak akan sakit karna cinta. Mas gak rasain apa yang aku rasain kan?, mas,…”.
“Mas tau apa yang kamu rasain sekarang. Karna mas juga pernah ngerasain apa yang kamu rasain sekarang. Kemudian, mas bisa belajar untuk mencintai dengan benar”
“Mas pernah rasain apa yang aku rasain sekarang?’ dan mas bisa lewati semua?. Ku yakin, Aku juga bisa!
“Optimis! Kamu pasti bisa. Makna cinta itu luas, sehingga kadang sulit bagi kita untuk memahaminya. Maka tempatkanlah ia dimana seharusnya ia berada”
“Ya, makasih ya mas, udah mau kasih semangat buat aku untuk bisa lewati semua ini. Seharusnya aku nyadar, orang yang ada dalam hatiku bukan jodohku”.
“Maka berilah ruang untuk yang lain. Senyum dong” Walau aku tidak bisa melihat senyumnya, tapi aku yakin senyuman itu akan memberinya energi positif untuk menghadapi kenyataan ini.
“Ya, pengennya senyum mas. Udah deh aku gak mau nangis lagi”.
Dan aku baru bisa melihat senyumnya di hari berikutnya walau masih tertahan.

 

====================

sumber gambar: metrotvnews.com

Directory Kata

blog search directory Society Blogs